Di sebuah sekolah negeri di Lebak, Banten, seorang kepala sekolah menegur siswanya yang merokok. Teguran berubah menjadi tindakan fisik. Murid merasa dilecehkan, orang tua melapor ke polisi, teman-teman murid mogok sekolah, dan kepala sekolah dinonaktifkan. Peristiwa ini terjadi di SMAN 1 Cimarga — dan menjadi cermin retak wajah pendidikan kita hari ini.
Kita menyaksikan benturan antara niat baik dan cara yang keliru, antara disiplin dan kekerasan, antara kewibawaan guru dan hak-hak siswa. Tapi di balik semua itu, ada luka lebih dalam: hilangnya keseimbangan moral antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Antara Wibawa dan Kekuasaan
Guru sejatinya bukan penguasa di ruang kelas, melainkan pengasuh jiwa yang memandu murid menemukan dirinya. Namun dalam praktik, peran itu kerap terjepit di antara tekanan moral, sosial, dan administratif.
Kepala sekolah di Cimarga mungkin hanya bermaksud menegakkan disiplin, tapi di mata hukum, tamparan itu bisa dianggap kekerasan.
Lalu publik terbelah: sebagian membela “ketegasan” guru, sebagian lagi menuntut perlindungan bagi anak.
Kita terjebak dalam debat antara “hak menegur” dan “hak dilindungi”, padahal yang hilang adalah rasa hormat yang saling menguatkan.
Orang Tua di Persimpangan
Ketika orang tua melapor polisi atas tindakan guru, itu menandai perubahan paradigma besar.
Dulu, orang tua menganggap guru sebagai perpanjangan tangan keluarga. Kini, guru sering diposisikan sebagai pihak eksternal — bahkan musuh potensial ketika anak merasa dirugikan.
Inilah krisis nilai yang perlahan mengguncang fondasi pendidikan kita: cinta orang tua kehilangan arah. Anak dibela, bukan dididik. Salah ditutupi, bukan diperbaiki.
Dan ironinya, para orang tua lain memilih diam. Mungkin karena takut terseret arus, atau karena sudah terlalu letih untuk peduli.
Solidaritas Murid yang Salah Arah
Sekitar enam ratus lebih siswa SMAN 1 Cimarga mogok sekolah. Aksi itu tampak heroik, tapi di baliknya tersimpan kebingungan moral: apakah mereka membela teman yang berbuat salah, atau menuntut perlakuan manusiawi dari otoritas sekolah?
Apapun alasannya, mogok itu menunjukkan bahwa rasa hormat terhadap otoritas pendidikan telah melemah.
Sekolah yang seharusnya menjadi ruang tumbuh bersama, berubah menjadi panggung tarik-menarik kuasa antara murid dan guru.
Negara yang Menonton
Pemerintah cepat menonaktifkan kepala sekolah — langkah prosedural yang wajar, tapi belum menyentuh akar masalah.
Sampai kapan guru dibiarkan tanpa perlindungan moral dan hukum yang jelas? Sampai kapan sekolah dibiarkan menghadapi badai nilai tanpa kompas kebijakan yang berpihak pada pendidik sejati?
Kurikulum boleh berubah, metode boleh berganti, tapi jika martabat guru terus dikikis dan karakter murid terus diabaikan, maka sekolah hanya akan melahirkan generasi yang pandai membantah, tapi gagap bertanggung jawab.
Belajar dari Cimarga
Cimarga bukan sekadar kasus hukum — ia peringatan keras. Bahwa pendidikan bukan sekadar urusan otak, tapi soal hati.
Bahwa disiplin tanpa empati melahirkan perlawanan, dan kebebasan tanpa batas menumbuhkan kebiadaban.
Bahwa guru, murid, dan orang tua harus kembali duduk satu meja — bukan di ruang mediasi hukum, tapi di ruang batin kebangsaan kita.
Tamparan di Cimarga bukan sekadar tentang siapa yang salah. Itu tamparan bagi kita semua — masyarakat yang membiarkan pendidikan kehilangan arah.
Jika kita terus abai, bukan hanya guru yang kehilangan wibawa, tapi bangsa yang kehilangan masa depan.