Purbaya Yudhi Sadewa resmi dilantik Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada awal September 2025. Pelantikan ini terjadi dalam suasana politik yang panas, menyusul demonstrasi berkepanjangan dan kerusuhan sosial terkait kebijakan fiskal. Namun, alih-alih meredakan gejolak, pernyataan pertama Purbaya justru memicu kontroversi baru. Ia menyebut tuntutan massa “17+8” hanyalah suara sebagian kecil rakyat, seraya menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi 6–7 persen akan membuat mereka lebih sibuk bekerja ketimbang turun ke jalan. Ucapan ini memantik kemarahan publik, bahkan muncul seruan agar dirinya segera dicopot meski baru sehari menjabat.
Kontroversi tersebut menambah beban awal Purbaya yang sejak awal dipandang sebagai sosok ekonom yang blak-blakan. Gaya komunikasinya kerap disebut “koboi”—terus terang, lugas, namun kadang menyinggung sensitivitas publik. Tak lama setelah pernyataan yang dianggap meremehkan aspirasi rakyat itu, ia buru-buru meminta maaf, mengakui masih terbawa gaya lama, dan berjanji lebih terbuka terhadap kritik. Meski begitu, atmosfer kekecewaan telanjur membara, diperparah oleh pelemahan rupiah dan IHSG pascapengumuman reshuffle.
Di luar kontroversi, rekam jejak Purbaya memperlihatkan perjalanan panjang. Ia lahir di Bogor pada 7 Juli 1964, menamatkan pendidikan Sarjana Teknik Elektro di ITB, kemudian melanjutkan studi ekonomi hingga meraih gelar doktor di Purdue University, Amerika Serikat. Kariernya semula ditempa sebagai insinyur lapangan di Schlumberger, sebelum beralih ke dunia ekonomi dan pasar modal dengan menduduki jabatan Chief Economist dan Direktur Utama Danareksa Securities. Namanya semakin dikenal saat menjabat Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak 2020 hingga 2025, posisi yang meneguhkan reputasinya dalam bidang stabilitas keuangan.
Penunjukannya sebagai Menkeu dipandang sebagai upaya Presiden Prabowo mencari figur pro-pertumbuhan yang dekat dengan dunia usaha. Namun, langkah ini terjadi di tengah badai kepercayaan publik dan pasar. Bursa saham melemah, rupiah tertekan, sementara kelegaan publik atas pergantian Sri Mulyani segera berganti dengan ketidakpuasan terhadap pernyataan penggantinya. Ketika sebagian kalangan menilai ia membawa perspektif baru, sebagian lain justru menuntut agar kursi menteri segera dikaji ulang.(Gunung Katun -news)
Kasus Purbaya menegaskan betapa posisi Menteri Keuangan bukan hanya soal keahlian teknis, melainkan juga seni berkomunikasi dengan rakyat dan pasar. Dalam kacamata politik-ekonomi, kegagalan menjaga narasi di hari pertama dapat berimplikasi pada legitimasi kebijakan fiskal berikutnya. Dengan demikian, biografi panjang dan pengalaman teknokratik Purbaya kini berhadapan dengan ujian terbesar: bagaimana mengubah reputasi “koboi blak-blakan” menjadi juru damai fiskal di tengah gejolak sosial-ekonomi Indonesia.