Dalam pusaran era modern yang ditandai oleh konsumerisme, individualisme, dan hedonisme, ibadah qurban hadir sebagai pengingat sakral bahwa hidup bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang memberi dan mengikhlaskan.
Namun, tantangan dalam menjalankan ibadah ini semakin kompleks, tidak lagi sekadar soal ketersediaan hewan qurban, melainkan juga krisis makna dan niat.
Sebagian orang menjadikan qurban sebagai ajang pamer, berlomba membeli hewan termahal dan terbesar, bukan karena ingin memberikan yang terbaik kepada Allah, melainkan demi pencitraan sosial. Foto-foto hewan qurban disebar di media sosial dengan narasi yang tidak jarang sarat kesombongan terselubung.
Padahal, Allah SWT tidak melihat bentuk atau rupa amal, tetapi keikhlasan dan ketakwaan yang mendasarinya. Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Fenomena ini menunjukkan bagaimana ruh qurban bisa terkikis oleh budaya riya’ digital, di mana amal dipublikasi bukan sebagai inspirasi, tetapi sebagai eksistensi diri.
Di sisi lain, ada pula yang mampu secara finansial namun merasa kurban bukan prioritas. Dana yang seharusnya cukup untuk membeli seekor kambing, justru habis untuk liburan, gadget terbaru, fashion mewah, atau sekadar gaya hidup self-reward.
Ini memperlihatkan bagaimana nilai spiritual qurban terkalahkan oleh keinginan duniawi, padahal qurban adalah bentuk rasa syukur dan pengakuan atas limpahan nikmat dari Allah. “Berinfaklah kamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (dengan tidak berinfak), dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Qurban menjadi ujian konkret, apakah seseorang lebih mencintai hartanya atau rida Tuhannya.
Justru di tengah derasnya arus materialisme, qurban menawarkan ketenangan batin dan penjernihan hati. Ia menjadi penyeimbang agar manusia tidak terjerat cinta dunia yang berlebihan.