Baru-baru ini publik dibuat terhenyak oleh sebuah video yang menyebar luas di media sosial. Seorang ibu dititipkan ke sebuah yayasan lansia oleh anak-anak perempuannya. Yang membuat hati semakin perih, mereka menandatangani surat perjanjian: setelah hari itu, mereka tidak boleh lagi melihat wajah ibunya, bahkan jika kelak sang ibu meninggal dunia, mereka tak akan diberi kabar.
Ketika ketua yayasan bertanya, “Tega?”
Kedua anak itu mengangguk.
Tanpa tangis. Tanpa ragu.
Seolah tak ada beban moral maupun luka batin.
Ribuan komentar netizen pun membanjiri unggahan itu. Mayoritas mengecam sikap sang anak yang dinilai tega, durhaka, dan tak tahu balas budi. Tapi jika kita renungkan lebih dalam, apakah semua ini hanya soal anak-anak yang tidak tahu berterima kasih?
Kita hidup di zaman ketika hubungan darah pun bisa tergerus oleh kepentingan pribadi dan tekanan hidup. Anak-anak yang seharusnya menjadi tumpuan dan pelipur orang tua di hari tua, kini justru tega melepas tangan. Tapi mereka sejatinya bukan hanya pelaku, mereka juga korban—korban dari sistem kehidupan sekuler yang kering dari ruh Islam.
Dalam sistem ini, hidup diukur dari manfaat. Segalanya ditimbang dari segi efisiensi dan kenyamanan. Maka tak heran, ketika orang tua dianggap sebagai beban—baik secara fisik, mental, maupun finansial—maka menitipkan mereka ke panti jompo menjadi pilihan yang dianggap “masuk akal”.
Kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada anak yang begitu tega? Tapi kita tak tahu seperti apa luka yang mereka bawa. Mungkin sejak kecil, mereka tumbuh tanpa kehangatan cinta, tanpa tuntunan agama, tanpa dialog kasih sayang. Mungkin mereka pun dibesarkan oleh orang tua yang juga dulu terluka, yang dibesarkan oleh sistem yang tak memberi ruang bagi pendidikan ruhani. Maka durhakanya mereka hari ini bukan hanya salah mereka, tapi juga buah dari lingkungan dan sistem yang mencabut nilai birrul walidain dari dasar kehidupan.
Padahal Islam meletakkan kedudukan orang tua dalam posisi yang sangat mulia. Allah berfirman:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka perkataan 'ah', dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."(QS. Al-Isra: 23)
Betapa mulianya kedudukan orang tua hingga sekadar berkata “ah” pun dilarang. Maka menitipkan mereka tanpa harapan bertemu kembali, adalah kedurhakaan yang jauh lebih besar.
Sungguh, Islam tidak hanya memerintahkan anak untuk berbuat baik pada orang tua. Islam juga membentuk sistem kehidupan yang menjaga agar hubungan itu tetap hangat dan terhormat.
Dalam sistem Islam, pendidikan anak sejak dini diarahkan pada pembentukan akhlak dan ketakwaan. Negara menjamin pendidikan berbasis akidah. Masyarakat didorong untuk saling menasihati dalam kebaikan. Dan keluarga dibangun atas dasar cinta, tanggung jawab, dan iman, bukan sekadar kontrak sosial. Maka anak-anak tumbuh dengan pemahaman bahwa membahagiakan orang tua bukan beban, tapi jalan menuju surga.
Sejarah Islam penuh dengan teladan anak-anak berbakti. Lihatlah bagaimana Imam Syafi’i begitu berbakti kepada ibunya, atau bagaimana Uwais al-Qarni yang tak pernah meninggalkan ibunya hingga ia dikenal di langit karena baktinya, meski tak dikenal di bumi. Kisah-kisah itu lahir bukan dari ruang hampa, tapi dari masyarakat yang dibangun di atas sistem Islam yang mulia.
Hari ini, video tentang seorang ibu yang diabaikan anak-anaknya seharusnya tak hanya mengundang kemarahan sesaat. Tapi juga menjadi peringatan keras, bahwa kita telah terlalu lama hidup dalam sistem yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai Rabb-nya.
Jika ingin generasi yang berbakti, maka kita tak cukup hanya mengingatkan mereka tentang pahala dan dosa. Kita harus mengubah sistem yang membentuk cara pandang dan perilaku mereka. Dan hanya Islam yang mampu membangun sistem seperti itu—yang tak sekadar mencetak anak cerdas, tapi juga anak yang bertakwa dan berbakti.