Air bah yang menggulung Aceh, Sumbar, dan Sumut bukan lagi sekadar peristiwa alam; ia telah berubah menjadi ujian martabat sebuah negara. Ketika korban hampir menyentuh angka seribu, ketika kayu gelondongan dan lumpur masih menutup kampung, ketika akses jalan ke pedalaman masih terputus, ketika para bupati memilih menulis surat berisi kata-kata paling pahit—“kami tidak sanggup lagi”—maka sebenarnya satu hal sudah terang: skala bencananya sudah melampaui batas kemampuan daerah. Negara tidak boleh berpura-pura tuli.
Inilah saatnya tuntutan itu diucapkan dengan suara lantang, bersih, dan tanpa basa-basi: "Tetapkan sebagai bencana nasional. Segera."
Karena apa artinya negara jika rakyat menjerit sendirian? Apa gunanya jargon ketangguhan bila perahu karet kurang, bila jalan putus, bila jenazah masih diangkat dengan tenaga warga? Apa bedanya kita dengan negeri yang gagap jika koordinasi pusat hanya bergerak di pinggir, bukan di jantung masalah?
Penetapan bencana nasional bukan hadiah. Ia adalah perintah konstitusi yang menggantung pada kewajiban negara menjaga keselamatan warganya. Ia membuka pintu bagi pengerahan penuh TNI–Polri, anggaran tanggap darurat nasional, mobilisasi logistik besar-besaran, dan koordinasi lintas lembaga tanpa sekat administratif yang menghambat penyelamatan jiwa.
Luka yang sedang menganga tidak butuh pidato panjang. Ia butuh keputusan politik yang tegas—yang berani menghadapi kritik, berani mengakui bahwa skala krisis telah melampaui batas, berani mengambil langkah yang mungkin tidak populer tetapi mutlak diperlukan.
Dan jika pemerintah pusat ragu, dengarkan suara daerah: para kepala wilayah sudah mengangkat bendera putih. Itu bukan tanda kelemahan; itu tanda bahwa medan perangnya tak lagi simetris.
Negara besar diukur bukan dari gedung tinggi dan seremoni, tapi dari kemampuannya menahan rakyat dari tenggelam—secara harfiah maupun moral.
Maka tuntutan ini sederhana, lugas, dan tak bisa ditunda: Sahkan status bencana nasional, sebelum sejarah mencatat bahwa kita lambat selangkah dari nurani. Mari kita berdonasi semampunya.